Rabu, 20 Mei 2015

Ke-Dulu-an vs Ke-Kini-an

My Dorm Room
0140 hours

Kekinian,

Kalo dulu kita main gundu sama layangan di lapangan, sekarang kita mainnya di tab, smartphone, atau di gadget apapun.

Kalo dulu kita denger lagu pake tape yang masih pake kaset pita dan didenger rame - rame, sekarang telinganya pada disumpel pake headphones/earphones trus dengerin lagu sendiri - sendiri.

Kalo dulu nyanyinya,"Bangun pagi kuterus mandi. Tidak lupa menggosok gigi." Kalo sekarang nyanyinya,"Bangun pagi ku-update status. Tidak lupa kubuka Kaskus."

Kalo dulu orang bilangnya "sumpeh lo?", sekarang bilangnya "ciyus? miapah?".


Zaman berubah, era berganti. Perkembangan semakin pesat seiring berjalannya waktu. Sebagai manusia yang mengikuti perkembangan, pastinya kita ikut merasakan dampak dari perkembangan itu dong, iya gak? Banyak hal yang berkembang, misalnya teknologi, kehidupan sosial, tata bahasa, seni dan budaya, bahkan badan kita sendiri berkembang (ya iyalah namanya juga bertumbuh). Tentunya dengan adanya perkembangan seperti ini, kita tidak seperti berjalan ditempat saja, melainkan tetap maju kedepan memunculkan inovasi - inovasi yang dapat membantu kita dan sesama kita.

Kekinian adalah kondisi dimana kita mengikuti trend yang ada sekarang ini. Contohnya: trend dalam fashion, gaya bicara, teknologi, dsb. Kekinian membuat kita akan terus mengikuti perkembangan sehingga kita tetap up to date dengan hal - hal yang baru. Biasanya kekinian ini tersebar melalui begitu banyak media, sehingga kita bisa menemukannya dimana - mana. Kalau dulu kita mendapat up date terbaru tentang kondisi dunia lewat koran setiap pagi, sekarang kita bisa tau gosip - gosip teranyar ataupun perkembangan paling hebat setiap menit. updates tersebut kemudian dipraktekkan oleh khalayak ramai, sehingga terciptalah yang namanya trend, dan orang yang menciptakannya disebut trend setter.

Sayangnya, kekinian yang kita rasakan juga mempunyai dampak negatif yang sangat kita rasakan. Generasi yang pernah disebut sebagai "Generasi Zombie" menurut seorang pengkhotbah lokal di Jakarta merupakan generasi yang tidak bisa lepas dari "kekinian" yang berkembang pesat ini. Kalau kita membandingkannya dengan zaman dulu (let's say kita mengambil era 90an), kita akan melihat begitu banyak hal yang sangat berbeda, dan mungkin setelah membaca ini kalian akan berpikir bahwa zaman dulu lebih baik. Kita liat ya:
  1. Entertainment (Hiburan)
    Setiap kita pasti ingin hiburan. Banyak cara biar kita bisa mendapatkan hiburan, entah itu dari menonton, bermain, mendengarkan musik, dsb. Dulu, kita menonton di TV dengan acara - acara yang baik sesuai umur (Ah aku kangen Tokyo Mew Mew dan Digimon), main bola plastik, sepedaan sore - sore, main YuGiOh dengan gaya dan efek kartu yang dibuat - buat persis seperti anime-nya (padahal sebenarnya gak semua persis kayak anime sih), trus dengerin musik di tape pake kaset pita yang harus diputer - puter pake pulpen. Intinya hiburan zaman dulu tuh masih bisa berinteraksi dengan orang lain secara langsung.
    Bagaimana dengan sekarang? Mau main game tinggal ambil tab atau smartphone. Mau nonton streaming YouTube, Denger lagu tinggal colok headphones dan tekan play di iPod atw media player lainnya. Paling banter ya SoundCloud atau YouTube, dan itu dilakukan sendiri. Minim interaksi dengan orang lain. Acara TV yang benar-benar sesuai dengan umurpun kayaknya bisa dihitung jari.
  2. Kehidupan Sosial dan Komunikasi
    Manusia tidak bisa hidup sendiri kan? Kita pasti butuh orang buat ngobrol juga. Kalau dulu tuh ngobrol sambil ngopi atau ngeteh bareng tuh sangat biasa. Nelpon aja masih pake nelpon rumah. Kalo punya handphone Nokia yg 3310 tuh udah berasa kaya banget asli dah. Alat komunikasi kayak gitu tuh bener-bener berfungsi untuk mendekatkan yang jauh. Kita ingin curhat tapi gak pengen ketahuan orang juga bisa nulis di diary. Interaksi banyak banget.
    Gimana dengan sekarang? Tab dan smartphone sudah merajalela kemana-mana. Awalnya dari fungsi "mendekatkan yang jauh", sekarang malah nambah jadi "menjauhkan yang dekat. Orang lagi asik nongkrong bareng, tapi pada main smartphone masing-masing. Gak ada ngobrolnya pake mulut. Tempat nongkrong juga kalo gak ada WiFi-nya pasti gak mau. Nokia 3310 aja kalo masih ada yang bawa ya paling buat nimpuk maling (katanya sih sakit. Gak tau dah bener apa kagak). Curhat juga gak perlu pake temen. Langsung aja nyerocos di Facebook. Pasti banyak yang comment (intinya cuma dijadiin rahasia umum doang).
  3. Gaya Bicara
    Namanya anak gaul pasti ada dong kata-kata gaul yang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Jujur karena aku bukan orang yang tinggal di Jakarta pas kecil, aku gak tau bahasa yang dipakai untuk bahasa gaul di Jakarta. Tapi, yang bisa aku bilang adalah kalo ngobrol di zaman dulu tuh setidaknya masih ngertilah apa yang dibicarakan. Texting aja cuma singkat-singkat biasa gitu lho kayak "lags aps?" atau "laper nih. Caps yuk." Kira-kira kayak gitulah.
    Lah sekarang? 4L@y merajalela (nulis kata "alay" pake gaya alay aja masih rada mikir lho), "ciyus miapah enelan maacih" dimana-mana, Udahlah gak perlu kujabarin panjang-panjang juga udah tau yang lainnya kayak mana.
Setelah membaca hal-hal diatas, mungkin pada ngerasa kayak aku nyuruh buat tinggalin "kekinian" ya? Gak gitu kok. Tenang aja. Bagaimanapun, perkembangan itu perlu. Kita gak boleh membuang kekinian karena itu semua dapat membantu kita selaama kita menggunakannya dengan baik. Ambillah semua hal yang baik dan terapkanlah. Kalau memang kamu sangat kekinian sampe lupa hal zaman dulu, tidak apa-apa tuh. Kalau kalian orangnya lebih keduluan ketimbang kekinian, ya gak apa-apa juga, yang penting kita bisa saling melengkapi dan berbagi yang baik kepada orang lain. Aku aja pake social media kok, tapi bener-bener dipake buat cari informasi dan komunikasi dimana perlu.

Kalo kamu gimana? Udah kekinian atau masih keduluan? :)

Sabtu, 09 Mei 2015

Stereotype: Penilaian Subjektif yang Merugikan

Hepitea Story
2300 hours

Catatan dari penulis:

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan satu suku, agama, ras, atau orang - orang tertentu berdasarkan kategori tertentu. Tulisan ini semata - mata hanya ingin memperlihatkan beberapa pemikiran yang bisa dikatakan "kurang tepat" mengenai orang lain dari suatu identitas tertentu. No hard feeling. Let's be friends, okay?


"Ah dia mah emang kayak gitu. Orang cina kan biasanya pelit. Udah maklum sih gue."
- Random Colleague

Hello Internet. Welcome to my blog. Setelah sekian lama saya "lepas pena" karena gak ada inspirasi, akhirnya saya kembali menulis (ampun dah bahasanya). Hha.

Setiap orang unik. Tidak ada orang yang sama persis, bahkan meskipun dia mempunyai banyak kembaran, katakanlah kembarannya ada 4 (kebanyakan broooo). Tapi, meskipun masing - masing orang berbeda - beda, kita mempunyai beberapa kesamaan dengan orang - orang tertentu, misalnya dari suku, agama, ras, hobi, makanan/minuman, identitas tertentu, pekerjaan, dsb. Cara orang memandang orang lain juga berbeda - beda. Ada 2 macam penilaian, yaitu:

  1. Penilaian Objektif : Penilaian yang diambil berdasarkan pengukuran, pemeriksaan, atau seleksi tertentu tanpa melibatkan pemikiran secara personal, melainkan berdasarkan pemikiran logika umum berdasarkan barang bukti yang valid.
  2. Penilaian Subjektif : Penilaian yang diambil berdasarkan pendapat personal. Penilaian seperti ini sangat melibatkan selera atau preferensi dari sang penilai sendiri, sehingga tidak ada ukuran yang pasti mengenai penilaian tersebut karena setiap orang pasti mempunyai penilaian yang berbeda - beda.
Setelah membaca definisi saya diatas, pasti anda berpikir bahwa penilaian objektiflah yang benar. Apakah seperti itu? Rasanya tidak. Penilaian objektif mungkin berguna untuk hal - hal yang sudah pasti, misalnya tinggi badan, berat badan, hasil dalam perlombaan olahraga, dsb. Tapi, dalam kita menilai orang lain, menilai suatu karya seni, atau yang lainnya, kita pasti menggunakan penilaian subjektif, yang tidak jarang juga melahirkan pandangan - pandangan negatif ataupun positif yang akhirnya membuat orang "mencap" orang lain dengan hal - hal yang belum tentu tepat. Pandangan tersebut yang selanjutnya kita sebut dengan "Stereotype".


Apa itu stereotype? Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, stereotype (atau stereotip) dapat didefinisikan sebagai berikut:

stereotip/ste·re·o·tip/ /stéréotip/ 1 a berbentuk tetap; berbentuk klise: ucapan yg --; 2 n konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yg subjektif dan tidak tepat
Sumber: kbbi.web.id

Berdasarkan definisi diatas, kita bisa bilang bahwa stereotype itu tidak lebih dari sekedar penilaian orang - orang tertentu yang didasarkan pada apa yang mereka pikirkan sendiri, dan parahnya, pikiran itu mempengaruhi orang lain juga. Di Indonesia sendiri sebagai negara yang bersifat majemuk dimana terdiri dari berbagai macam manusia, pikiran - pikiran stereotype seperti itu banyak mempengaruhi  cara pandang seseorang terhadap sebangsanya sendiri, ataupun cara pandang tentang bangsa/negara lain. Misalnya:
  • "Orang Batak tuh mukanya sangar, udah gitu kalo ngomong lantang banget. Kayak pemarah2 gitu deh."
    Okay. Mungkin kebanyakan orang Batak yang kita temui mempunyai wajah yang sebegitu sangar, tapi perlu diingat bahwa ada juga orang Batak yang punya sifat yang jauh lebih halus dibandingkan dengan orang Jawa. Mereka juga baik. Logat mereka yang ngomong agak keras juga bukan berarti mereka pemarah dan kasar. Cara mereka berbicara memang seperti itu kok, tapi aslinya mereka baik juga.
  • "Orang Chinese itu rata - rata pinter ya? Sayang pelit."
    Dibilang pelit sih gak juga ya, tapi memang mereka punya beberapa alasan untuk bersikap seperti itu. Mereka dari dulu diajarkan untuk menabung dan diajarkan untuk tidak membuang - buang rezeki yang diberikan, sehingga mereka bisa siap untuk masa depan mereka. Pinter juga belum tentu. Ada juga orang Chinese yang kemampuannya standard.
  • "Kalo kacamataan tuh biasanya pinter. Pasti dia ngabisin waktu buat baca buku pelajaran tiap hari."
    Wait, what? Ayolah.. Gak semua kayak gitu. Mungkin saja dia cuma seorang gamer hardcore yang gak tau kapan harus berhenti.
  • "Orang Korea itu cantik/ganteng, tapi sayang mereka oplas (operasi plastik)."
    Gak semua orang disana oplas kok. Cukup banyak orang korea yang tidak operasi plastik, tapi mereka tetap cantik/ganteng. Silakan aja cari di Google daftar artis Korea yang gak operasi plastik. Mereka juga terkenal sampe international karena drama kok.
  • "Kalo orang Papua kayaknya gampang dibodoh - bodohin. Udah item, primitif lagi. Tch."
    Pikiran kayak gini sih mesti ditindak. Benar - benar harus ditindak. Banyak orang Papua dan sekitarnya jadi objek bullying karena etnis mereka. Saya pernah menemukan teman yang berasal dari Papua, dia kulitnya kuning langsat, berambut lurus, dan rajin, bahkan sangat rajin daripada orang lokal. Jadi, kalau masih ada yang merasa orang Papua itu primitif, pikir lagi. Mungkin mereka adalah orang - orang yang lebih maju dari kalian.
Selain 4 hal diatas, masih banyak stereotype yang tertanam di dalam pikiran banyak orang di Indonesia. Terkadang stereotype seperti ini tidak tepat, dan harus diperbaik secepatnya. Stereotype seperti ini malah yang membuat perpecahan diantara masyarakat Indonesia, padahal banyak juga orang - orang yang sifatnya tidak seperti stereotype tersebut. Ayolah Indonesia. Kita ini punya potensi yang besar. Masa cuma karena hal seperti ini terus kita tercerai berai?

Sekian yang bisa saya bahas mengenai stereotype. Mungkin ada teman - teman yang ingin menambahkan tentang stereotype dan apa fakta sebenarnya dibalik stereotype tersebut? Leave your comments below. Thank you. ^_^ Peace out.